AKSI NYATA

AKSI NYATA 3.3

PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK 

AKSI NYATA 3.2

PEMIMPIN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA

Dalam aksi nyata modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial dan Emosional ini saya melakukan 

AKSI NYATA 2.3

COACHING

Aksi nyata modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Pembelajaran

AKSI NYATA 1.4

BUDAYA POSITIF

Dalam aksi nyata modul 1.4 tentang budaya positif ini saya melakukan dua aktivitas. Pertama, mengimplementasikan konsep budaya positif di kelas. Pada kegiatan ini saya menyusun keyakinan kelas bersama murid dan menerapkan segitiga restitusi. Dalam menyusun keyakinan kelas, saya bersama murid mendiskusikan nilai-nilai kebajikan universal yang sekiranya baik diterapkan di dalam kelas. Beberapa nilai-nilai tersebut kemudian disepakati untuk menjadi keyakinan kelas. Aktivitas menyusun keyakinan kelas ini dapat disaksikan melalui link berikut : Video Keyakinan Kelas . Selain melakukan keyakinan kelas, saya juga menerapkan segitiga restitusi. Implementasikan konsep segitiga restitusi ini saya lakukan terhadap dua murid di kelas saya. Dimana murid pertama mengalami permasalahan berupa sering terlambat datang ke sekolah, sedangkan murid kedua tertidur di kelas saat pembelajaran sedang berlangsung. Bagaimana penerapan segitiga restitusi di kelas dapat dilihat melalui link : Video Segitiga Restitusi .

Kedua, mendiseminasikan implementasi budaya positif di kelas kepada rekan-rekan sejawat dalam hal ini guru SLB Negeri Muaro Jambi. Aktivitas diseminasi ini dimulai dengan memberikan penjelasan singkat mengenai perubahan paradigma belajar, disiplin positif, motivasi perilaku manusia, kebutuhan dasar, posisi kontrol, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Dilanjutkan dengan menampilkan video penerapan konsep budaya positif berupa penyusunan keyakinan kelas dan segitiga restitusi. Kegiatan diseminasi penerapan budaya positif ini terdokumentasikan dalam video berikut : Diseminasi Budaya Positif 

KOMENTAR

Aksi Nyata Modul 1.3.mp4

AKSI NYATA 1.3

VISI GURU PENGGERAK

Visi yang dirumuskan adalah MOVE yang merupakan akronim dari Mandiri, Orientasi Ketuhanan, Vokasional, dan Egaliter. Dari visi tersebut dibuatlah prakarsa perubahan berupa mengembangkan kemandirian murid Tunanetra melalui pemanfaatan aplikasi teknologi informasi.  Selengkapnya dapat dilihat pada video di samping.

AKSI NYATA 1.2

NILAI DAN PERAN GURU PENGGERAK

Pengembangan diri yang sederhana, konkret dan rutin yang dapat saya lakukan sendiri dari sekarang, untuk membantu menguatkan nilai-nilai dan peran saya sebagai Guru Penggerak direncanakan sebagai berikut :

Kegiatan peningkatan kompetensi dilakukan dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi maupun oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Beberapa pelatihan tersebut diantaranya :

Aktivitas pembuatan media pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan teknologi sehingga menghasilkan media pembelajaran yang interaktif. Media pembelajaran yang dibuat terdiri dari Augmented Reality dan Game Edukasi. Beberapa Media yang telah dibuat antara lain :

Kegiatan pembelajaran yang berpihak pada murid dilakukan dengan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh murid, menggunakan teknologi sebagaimana perkembangan zaman yang sedang terjadi, dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi ketunaan murid.

Sedangkan penerapan kegiatan kolaborasi dalam komunitas belajar diterapkan dengan berperan aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) SLB, membentuk komunitas belajar yang terdaftar di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang bernama Komunitas Belajar Pendidikan Khusus (Komjar Diksus), dan menjadi narasumber dari beberapa pelatihan luring maupun daring.

AKSI NYATA 1.1

REFLEKSI FILOSOFIS PENDIDIKAN

Pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman. Perubahan zaman yang begitu cepat terjadi telah merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Tak terkecuali pada bidang pendidikan, terlebih sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Akselerasi transformasi teknologi digital secara masif telah mengubah pembelajaran yang biasanya dilakukan secara klasikal menjadi virtual. Begitu pula dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus terutama siswa Tunanetra yang saya ampu. Tunanetra yang dalam kesehariannya menggunakan huruf Braille dalam aktivitas menulis dan membaca, kini harus menggunakan gawai untuk mengerjakan tugas-tugas pembelajaran.

Perubahan zaman tersebut harus direspon dengan cepat oleh guru, agar mampu memberikan pendidikan yang sesuai dengan konteks zaman kepada murid-muridnya. Dalam hal ini, saya mencoba melakukan transformasi digital dalam pembelajaran Tunanetra. Dimana aktivitas membaca yang biasanya mengandalkan buku-buku Braille, mulai dialihkan ke buku elektronik dengan memanfaatkan aplikasi screen reader atau fitur talk back yang ada di gawai. Demikian juga dalam aktivitas menulis, dimana Tunanetra biasanya menggunakan reglet dan stylus untuk menulis Braille, saya arahkan untuk menggukan voice note atau mengetik dengan gawai menggunakan bantuan talk back. Pemanfaatan gawai ini juga digunakan dalam mengidentifikasi nilai nominal pecahan uang kertas dengan menggunakan aplikasi Cash Reader sehingga memudahkan Tunanetra untuk mengenali uang. Proses pembelajaran Tunanetra mengenali uang kertas dengan menggunakan gawai dapat dilihat melalui tautan

Dalam melakukan proses transformasi tersebut tentunya memiliki hambatan. Beberapa hambatan yang saya temukan antara lain murid tidak memiliki gawai, jaringan internet yang kurang stabil, dan ketersediaan paket data untuk mengakses internet. Untuk mengatasi hambatan ketersediaan gawai bagi murid, saya mencoba melakukan komunikasi dengan Kepala Sekolah dan memberikan gambaran arti penting pemanfaatan teknologi bagi Tunanetra untuk kehidupan masa depannya. Dari hasil komunikasi tersebut, Kepala Sekolah menyetujui pengadaan gawai untuk pembelajaran Tunanetra. Sedangkan untuk mengatasi hambatan ketersediaan jaringan internet, saya melakukan tethering untuk berbagi internet dengan gawai murid.

Dari tranformasi teknologi yang saya lakukan, saat ini murid Tunanetra mulai dapat mengakses buku digital secara variatif. Sebelumnya Tunanetra hanya mengandalkan buku Braille yang tersedia di perpustakaan sekolah yang hanya tersedia buku teks pelajaran dan kurang lengkap. Selain itu, murid Tunanetra sekarang telah dapat menulis teks menggunakan gawai sehingga mampu melakukan komunikasi tulisan dengan teman-temannya yang awas. Dimana sebelumnya, Tunanetra akan mengalami kesulitan bila harus berkomunikasi secara tertulis dengan orang awas, karena mereka tidak mengerti tulisan Braille. Bahkan, saat ini murid Tunanetra tersebut mulai mencoba berjualan secara online menggunakan gawai, meskipun hasilnya belum begitu terlihat.